Arsip | 11:31 pm

Dari perspektif Saksi Ahli : Para Pendakwa sebenarnya merekalah yang menodai kekristenan itu

20 Jul
Dr. Jopie Rattue, M.Dev sedang meninggalkan persidangan,
ia salah satu saksi ahli yang memberatkan pada kasus ini
Bandung, 19 Juli 2012. Sidang Pengadilan Banding yang fenomenal mengenai dakwaan Penodaan Agama Kristen masih belum usai. Pada hari Kamis(19/07/2012) akan digelar dengan agenda mendengarkan para saksi ahli dari tokoh-tokoh agama kristen mengenai bukti rekaman dari diskusi Pdt. Hadassah J. Werner dengan suatu komunitas tertutup yang disebut FLAME!. Rencana yang akan menjadi saksi ahli yang memberatkan dari pihak pendakwa adalah Dr. Jopie Rattue, M.Dev dosen dari STT Tiranus Bandung, yang karena BAPnyalah Ibu Heidi (Pdt. Hadassah J. Werner) ditahan lebih dari 150 hari. Sedangkan saksi ahli yang meringankan adalah Laksamana Madya (purn) Drs. Bonar Simangunsong. MSc. (Ketua MUKI), dan Rev. Dr. Karel Phil Erari (ketua PGI). Laksamana Madya (purn) Drs. Bonar Simangunsong. MSc, yang pernah menjabat sebagai kordinator Pokja Penyusunan Sistem Hukum Kristiani di GBI, menjelaskan bahwa secara kekristenan jika terjadi perselisihan, maka azas penyelesaian yang harus diambil adalah dengan menyelesaikan secara pertemuan empat mata, dan jika masih belum selesai dapat dilanjutkan dengan diselesaikan melalui tua-tua jemaat. Seandainya tidak bisa selesai pun juga, kekristenan tidak akan membawa masalah ini ke pengadilan. Karena itu bertentangan dengan prinsip penyelesaian secara kasih.

Saat ditanya mengenai isi BAP mengenai keabsahan seorang kristen berbicara dengan Yesus, ia mengatakan bahwa itu adalah eksklusif keimanan dari seseorang. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya tidak boleh dipertentangkan. Ada yg berkomunikasi melalui membaca Alkitab dan berdoa dan itu sudah ia anggap sebagai berbicara dengan Tuhan, ada juga yang pengalamannya bertemu langsung dengan Tuhan, bahkan ada pendeta yang sudah bolak balik ke surga pengalaman rohaninya, semuanya itu adalah masalah hubungan keimanan dan jangan pengadilan mempersalahkan bahkan mencatatnya dalam BAP sebagai pengajaran sesat.. Biarlah keimanan yang bersifat rohani terukur secara rohani. Menurut Dr. Bonar Simangunsong, kekristenan ada 323 denominasi, pasti ada perbedaan tetapi jangan perbedaan itu membuat orang kristen saling menghakimi. Menurutnya juga, tidak ada penodaan agama se agama, yang ada adalah penodaan antar lintas agama. Konflik seperti ini seharusnya diselesaikan secara internal dan secara kekristenan suatu kesalahan jika dibawa ke pengadilan seperti ini.

Para Pendakwa yang menuduh menodai, bisa jadi adalah mereka sendiri yang menodai kekristenan

Pada kasus ‘semu’ penodaan agama kristen ini, para saksi ahli yang memberatkan dan para saksi peneliti berlomba-lomba untuk menyalahkan Pdt. Hadassah J. Werner. Mereka tanpa membedakan mana pengajaran (hermeneutika) dan iman kristen (apologetika) berusaha untuk meyakinkan Majelis Hakim bahwa apa yang diajarkan oleh Pdt. Hadassah J. Werner adalah sesat dan menodai kekristenan. Dari hari ke hari sidang ini merumuskan butir-butir penodaan agama berdasarkan versi mereka dan menyimpulkan pengajaran sesat tanpa melihat kontekstualnya. Bahkan salah seorang ahli pidana yang namanya tidak bisa dicantumkan mengatakan bahwa jika ada ajaran sesat maka ada penodaan agama. Apakah bahasa hukum antara ajaran sesat dan penodaan agama adalah bermakna sama?

Sebenarnya siapakah yang menodai agama pada kasus ini? Apakah benar Pendeta Hadassah J. Werner yang menjadi terdakwa atau para pendakwa sendiri? Jika ditelaah, seorang ibu Gembala beranak tiga, dari keluarga baik-baik dan menggembalakan dombanya dengan serius, tiba-tiba diberi gelar sebagai pendeta sesat dan menodai agama oleh para mantan jemaat yang merasa lebih paham mengenai Alkitab, lalu mereka menyeretnya ke tahanan dan membawanya ke pengadilan. Berdasarkan keterangan dari kedua saksi ahli, dikatakan jelas-jelas bahwa hukum kristen melarang suatu perselisihan pengajaran dibawa ke persidangan negara karena ada metoda kristen yang harus dipatuhi seratus persen. Jadi bukankah dalam hal ini para pendakwa yang menyeret Pdt. Hadassah J. Werner sebenarnya adalah yang justru menodai ajaran kekristenan sendiri.

Presenden Baru dari Kasus GBT Lengkong Besar Bandung
Jika pun para pendakwa dan saksi ahli yang memberatkan dengan kepiawaiannya menyatakan ada penodaan agama di dalam satu agama, apakah mereka tidak berpikir bahwa kepintaran mereka dalam teologia telah membentuk presenden baru yaitu:
  1. Diskusi, Pengajaran dan Khotbah Kristen tidak dilindungi oleh gereja dan negara dan bisa didakwa pasal 156a KHUP tentang penodaan agama oleh denominasi lain
  2. Penyampaian dikusi, pengajaran dan khotbah kristen di Komunitas terbuka pun terancam, jika kasus ini yang jelas-jelas dilaksanan di komunitas tertutup bisa didakwa dan pendetanya ditahan lebih dari 150 hari maka tidak menutup kemungkinan bahwa diskusi terbuka pun akan terancam oleh orang kristen sendiri. Orang Kristen yang berbeda denominasi bisa menuntut KKR, Seminar Kristen atau Khotbah di TV karena merasa ada perbedaan pengajaran.
  3. Kanibalisme di kekristenan.
    Bukan hanya pengajaran dan khotbah, bahkan fasilitas umum yang bernafaskan kekristenan bisa jadi akan dihambat oleh orang kristen sendiri. Bayangkan bila suatu pendirian gereja A di tentang karena sebagian besar di daerah tersebut adalah denominasi gereja B yang merasa tidak sealiran dengan gereja A. Sekolah kristen A, siswanya harus mencari nilai agama kristen ke gereja karena guru kristennya berbeda denominasi gereja dengan siswanya

Dua organisasi kristen MUKI dan PGI menghimbau untuk sidang penodaan agama disudahi

20 Jul
Rev. Dr. Karel Phil Erari (ketua PGI) sebagai saksi ahli padakasus penodaan agama kristen di Bandung (19/07/2012)
Bandung. 19 Juli 2012, Dua Organisasi Kristen yaitu MUKI (Majelis Umat Kristen Indonesia) dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia) yang diwakili oleh ketuanya masing-masing yaitu Laksamana Madya (purn) Drs. Bonar Simangunsong, MSc.  dan Rev. Dr. Karel Phil Erari yang pada hari itu datang sebagai saksi ahli kasus ‘semu’ penodaan agama kristen yang mendakwa Pdt. Hadassah J. Werner. Menurut Laksamana Madya (purn) Drs. Bonar Simangunsong, MSc., yang pernah menjabat sebagai kordinator Pokja Penyusunan Sistem Hukum Kristiani di GBI,  pasal penodaan agama hanya ada untuk kasus lintas agama sedangkan untuk penodaan agama kristen yang dilakukan oleh seorang pendeta adalah hal yang tidak mungkin, “pendeta tidak mungkin menodai agamanya sendiri”, demikian ujarnya. “Ini hanya salah interprestasi saja”. Bonar Simangunson, yang juga pernah menjabat sebagai anggota penyusun GBHN,  menjelaskan bahwa secara kekristenan jika terjadi perselisihan, maka azas penyelesaian yang harus diambil adalah dengan menyelesaikan secara dua mata, dan diselesaikan melalui tua-tua jemaat. Seandainya tidak bisa selesai pun, kekristenan tidak akan membawa masalah ini ke pengadilan. Saat ditanya mengenai berbicara dengan Allah, ia mengatakan bahwa itu adalah eksklusif keimanan dari seseorang kristen. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya tidak boleh dipertentangkan dan dibanding-bandingkan. Ada orang kristen yg berkomunikasi dengan Tuhannya melalui membaca Alkitab dan berdoa dan itu sudah dianggap berbicara dengan Tuhan, ada juga yang pengalamannya bertemu langsung dengan Tuhan, bahkan ada pendeta yang pengalaman rohaninya adalah bolak balik ke surga semuanya itu berhubungan dengan keimanan kristen dan jangan pengadilan mempersalahkan bahkan menganggap itu sesat. Menurut Laksamana Madya (purn) Drs. Bonar Simangunsong, MSc.  kekristenan ada 323 denominasi, pasti ada perbedaan tetapi jangan perbedaan itu membuat orang kristen saling menghakimi. Perbedaan cara khotbah, liturgi dan pendapat boleh ada, namun perbedaan itu tidak boleh menyulut pertikaian dan perselisihan. Saat ditanya bahwa ada efek dari pengajaran Pdt. Hadassah J. Werner yang menyebabkan seorang anak menjadi tidak menghormati orangtuanya, ia menjawab bahwa persoalan anak dan orang tua itu tidak terjadi begitu saja, sebelum ada pengajaran pasti selama bertahun-tahun sudah ada masalah. Masalah anak dan orang tua hendaknya jangan mempersalahkan pendeta atau pengajar agama karena banyak faktor yang membuat hal ini terjadi.
Dr. Karel Phil Erari, yang terkenal dengan bukunya Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia Dan
Tanah Di Irian Jaya Sebagai Persoalan Teologis: Eko Teologi Dalam Perspektif  Melanesia
, juga berkata sama bahwa penodaan agama kristen oleh orang kristen itu tidak ada, menurutnya persoalan kekristenan harus diselesaikan secara utuh yaitu dengan cara kristen, berpikir secara kristen dan melakukan penyelesaian secara krsiten pula. Dimulai dari menegur yang bersalah secara empat mata, lalu jika tidak selesai mengundang dua atau tiga tetua untuk memberi nasihat dan teguran, dan jika belum selesai pun orang kristen tidak boleh membawa persoalan antara sesamanya ke pengadilan. Saat dikonfirmasikan oleh Pdt. Hadassah J. Werner mengenai pernyataan akhir jaman (eskatologi) mengenai ‘one new man’ dari mesianic-jew serta ‘the elect’ yaitu orang-orang suci dalam jumlah terbatas yang akan datang dibangkitkan saat kedatangan Yesus yang kedua kali. Dr. Karel Phil Erari,  yang juga komite eksekutif dari World Alliance of Reformed Churches, mengatakan sangat kagum dengan setiap pernyataan mengenai akhir jaman dan menghormati setiap pembahasan mengenai akhir jaman. Ia menutup pendapatnya dengan mengajukan beberapa pernyataan yang menghimbau agar persidangan disudahi diantaranya adalah :
  1. Memohon agar Persidangan Penodaan Agama ini disudahi karena secara esensinya tidak ada penodaan agama kristen oleh orang kristen sendiri.
  2. Pengajaran yang salah dari seorang Pendeta harus diselesaikan dengan cara pengembalaan lagi dan konseling, bukan dengan membawa pendeta ke pengadilan.
  3. Memberikan pengajaran dan khotbah adalah otoritas dari pendeta negara harus melindungi hak seorang pendeta kristen, mengenai tafsiran Alkitab yang mengkaitkan materi khotbah antara konteks dengan beberapa ayat firman Tuhan atau suatu ayat dengan ayat lain adalah baik, karena Firman Tuhan sangat luas penafsirannya
  4. Persidangan Negara yang membahas konteks-konteks pengajaran kekristenan telah keluar dari konteks ranah hukum dan masuk ke ranah agama yang seharusnya tidak dilakukan. Kedua organisasi meminta untuk persidangan disudahi dan dikembalikan ke ranah agama dimana permasalahan agama kristen sepenuhnya menjadi tanggung jawab umat kristen, dan internal di dalam sinode gereja
  5. Mengingat banyaknya denominasi gereja dengan kebhinekaannya, maka tidak etis jika ajaran suatu gereja diperdebatkan, biarlah masing-masing gereja menyelesaikan masalah ini sesuai dengan tatanan gereja yang berlaku.
  6. Pengajaran-pengajaran teologia kekristenan bukan untuk diperdebatkan, setiap gereja berhak untuk memperluas pengajaran teologia disamping mengajarkan kekristenan praktis selama tujuannya baik seperti memperkenalkan budaya pada jamam perjanjian baru.
  7. Jika kasus persidangan penodaan agama ini terus berlanjut dikuatirkan hubungan antara interdenominasi kristen akan terganggu.
Menanggapi pernyataan dari kedua ketua organisasi ini, tampaknya pengadilan tidak bergeming. Persidangan lanjutan akan diselenggarakan pada hari Senin dan Kamis minggu depannya.

Presenden Baru Akibat Sidang Semu Penodaan Agama

Jika pun para pendakwa dan saksi ahli yang memberatkan dengan kepiawaiannya menyatakan ada penodaan agama kristen oleh seorang pendeta, dikuatikan bahwa kepintaran mereka dalam teologia telah membentuk presenden baru yaitu:
  1. Diskusi, Pengajaran dan Khotbah Kristen tidak dilindungi oleh gereja dan negara dan bisa didakwa pasal 156a KHUP tentang penodaan agama oleh denominasi lain
  2. Penyampaian dikusi, pengajaran dan khotbah kristen di Komunitas terbuka pun terancam, jika kasus ini yang jelas-jelas dilaksanan di komunitas tertutup bisa didakwa dan pendetanya ditahan lebih dari 150 hari maka tidak menutup kemungkinan bahwa diskusi terbuka pun akan terancam oleh orang kristen sendiri. Orang Kristen yang berbeda denominasi bisa menuntut KKR, Seminar Kristen atau Khotbah di TV karena merasa ada perbedaan pengajaran.
  3. Kanibalisme di kekristenan. Bukan hanya pengajaran dan khotbah, bahkan fasilitas umum yang bernafaskan kekristenan bisa jadi akan dihambat oleh orang kristen sendiri. Bayangkan bila suatu pendirian gereja A di tentang karena sebagian besar di daerah tersebut adalah denominasi gereja B yang merasa tidak sealiran dengan gereja A. Sekolah kristen A, siswanya harus mencari nilai agama kristen ke gereja karena guru kristennya berbeda denominasi gereja dengan siswanya.